By: soeranto mumtaz
Pertama
Menurut Prof. Leblanc, mengajar yang baik merupakan gabungan dari
kesenangan (passion) dan penalaran (reason). Mengajar yang baik bukan
hanya tentang bagaimana memotivasi mahasiswa agar mau belajar tetapi
mengajar mereka bagaimana belajar dengan baik sehingga apa yang
dipelajari menjadi relevan, memiliki arti, dan dikenang dengan baik.
Prof. Leblanc mengibaratkan bahwa memperlakukan mahasiswa (dalam hal
mengajar dan mendidik) sama persis dengan bagaimana kita berbuat
memperlakukan sesuatu (baik benda maupun binatang kesayangan). Dosen
harus memperlihatkan suatu antusiasme dan kasih sayang dan kemudian
membagikannya kepada mahasiswanya. Beberapa indikator dari
dampak mengajar yang baik adalah :
Apa yang diajarkan di dalam kelas menjadi stimulan bagi proses berikutnya dari studi mahasiswa, misalnya menjadi topik bahasan kuliah menjadi sumber inspirasi bagi riset mahasiswa tersebut. Cara dosen mengajar menjadi role model bagi para mahasiswanya.
Apa yang diajarkan di dalam kelas menjadi stimulan bagi proses berikutnya dari studi mahasiswa, misalnya menjadi topik bahasan kuliah menjadi sumber inspirasi bagi riset mahasiswa tersebut. Cara dosen mengajar menjadi role model bagi para mahasiswanya.
Kedua
Mengajar yang baik harus menjadikan bahwa mahasiswa merupakan
konsumen atau klien dari ilmu pengetahuan yang kita jual (penulis
sendiri pernah menulis tentang paradigma baru pelayanan PT, bahwa
mahasiswa sekarang adalah konsumen). Seorang dosen haruslah mengerjakan
yang terbaik dalam bidangnya, membaca dari berbagai sumber, bukan hanya
dalam bidangnya tetapi juga di luar bidang keahlian sendiri. Mengapa?
Karena mengajar yang baik bukan hanya menyampaikan ilmu pengetahuan
yang menjadi bidang garapan kita (karena itu informasinya bukan hanya
dari buku teks dan jurnal ilmiah bidang kita) saja, tetapi juga tentang
bagaimana keterkaitan bidang ilmu kita dalam hasanah ilmu lainnya dan
bagaimana penerapannya di dunia nyata.
Kedua
Adalah benar jika ada yang berpendapat bahwa semakin tinggi gelar
kesarjanaan seseorang semakin fokus dan semakin dalam pengetahuannya
dalam bidang keahliannya. Oleh karena itu, seorang doktor atau profesor
seharusnya mempelajari lebih banyak bidang-bidang di luar kajiannya,
karena sebagaimana dikemukakan di atas, prinsip kedua dari mengajar yang
baik adalah menjembatani antara teori dan praktiknya di masyarakat.
Ketiga
Pada prinsipnya, mengajar yang baik adalah kesediaan mendengarkan,
mempertanyakan, menyikapi dengan responsif, dan memahami bahwa setiap
individu mahasiswa dari setiap kelas adalah suatu pribadi yang unik dan
berbeda. Yang sama dari setiap individu mahasiswa hanyalah dalam tujuan
akhirnya, yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang
berkualitas sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan mereka setelah
lulus dari pendidikannya.
Menurut Prof. Leblanc, seorang pengajar (dosen) yang baik harus dapat
mendorong mahasiswa mencapai keunggulan, dan secara bersamaan mahasiswa
juga harus dapat menjelma menjadi seorang pribadi utuh, memiliki rasa
hormat kepada sesama, dan selalu menjadi seorang profesional.
Dengan demikian, bukanlah sebuah sikap yang baik jika seorang dosen
hanya berdiri di depan kelas, menyampaikan materi ajar secara ‘kering’,
tanpa pernah menyisipkan soal etika dan moral, baik yang berkaitan
dengan penerapan ilmu yang diajarkannya maupun etika dan moral secara
umum.
Keempat
Menjadi pengajar yang baik bukan hanya dibuktikan dengan memiliki
program kerja (agenda) yang tersusun rapih dan secara ketat mengikuti
agenda tersebut (rigid). Sebaliknya, dosen haruslah bersikap fleksibel,
fluid (tidak kaku), selalu bersedia untuk mencoba hal-hal baru
(experimenting), dan memiliki kepercayaan diri untuk merespons dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Menurut Prof.
Leblanc, sebagus apa pun agenda kerja yang disusun, di kelas, paling
banyak hanya 10% yang dapat tercapai. Seorang pengajar yang baik harus
bersedia untuk mengubah silabus dan jadwal perkuliahannya jika di tempat
lain diketahuinya ada hal-hal yang lebih baik. Mengajar yang baik
merupakan suatu keseimbangan antara menjadi diktator yang otoriter dan
menjadi seorang penurut (pushover).
Pernyataan Prof. Leblanc di atas mengindikasikan bahwa sangat perlu
bagi seorang dosen untuk terus-menerus melakukan benchmarking, melalui
penggalian informasi (buku, diskusi, internet, studi banding, dll.)
bagaimana ilmu yang dia ajarkan diajarkan di tempat lain. Dengan
demikian, pada prinsipnya, bukan hanya silabus mata kuliah yang harus
fleksibel mengikuti kebutuhan zaman dan kebutuhan pasar, tetapi mata
kuliahnya sendiri juga dapat ‘ditutup-dibuka’ atau ‘dihilangkan dan
diganti’ jika mata kuliah tersebut sudah tidak lagi relevan dengan
kebutuhan masyarakat.
Silahkan masing-masing kita mengevaluasi diri sendiri, seberapa
sering kita memperbaharui bahan ajar, semutakhir apakah bahan ajar yang
kita berikan kepada mahasiswa, dan sejauh mana kita tahu bagaimana ilmu
yang kita ajarkan diberikan di tempat lain. Jangan-jangan yang kita
berikan dan praktikan sampai sekarang adalah bahan ajar yang sama, yang
kita dapatkan dari dosen ketika dahulu kita kuliah, sedangkan teknik
kita dalam mengajar pun hanya meniru apa yang dilakukan oleh
dosen-dosen kita dahulu.
Kelima
Mengajar yang baik juga berkaitan dengan cara atau
gaya (style). Mengajar di kelas harus juga merupakan suatu
‘pertunjukkan’ yang menarik, bukan hanya berdiri di podium dengan tangan
yang seolah terekat ke meja podium atau pandangan yang hanya tertuju ke
layar (jika itu pun sudah menggunakan alat bantu OHP atau LCD).
Mengajar di depan kelas bagi seorang dosen adalah bekerja, dan mahasiswa
merupakan lingkungan konsumen yang berada di sekitarnya. Seorang dosen
di kelas adalah seorang dirijen (conductor) sebuah orkestra dan
mahasiswa bagaikan pemain orkestra yang memainkan alat musik yang
berlainan dengan kemampuan bermain yang berbeda-beda. Dari pengalaman
kita sebagai mahasiswa, kita pernah mendapatkan dosen yang hanya duduk
saja di kursi, ada yang selalu membelakangi mahasiswa dan hanya membaca
proyeksi transparansi, atau malah mendiktekan kata demi kata kepada
mahasiswa. Cara atau gaya mengajar bukan saja akan mempengaruhi daya
ketertarikan (animo) mahasiswa terhadap materi perkuliahan, tetapi juga
terhadap animo untuk hadir di kelas pada mata kuliah tersebut. Di luar
negeri, dimana banyak perkuliahan ditawarkan secara paralel, baik pada
semester yang sama (sebagai kelas berbeda) maupun setiap semester,
pemilihan kelas biasanya sangat ditentukan oleh kualitas dangaya
mengajar dosennya. Walaupun ditawarkan secara bersamaan dalam satu
semester yang sama, dosen yang mengajarnya ‘enakeun’ (menurut istilah
mahasiswa sekarang), kelasnya akan diminati oleh banyak mahasiswa
(sehingga sering harus dibatasi dengan menerapkan ‘siapa cepat mendaftar
ia yang akan kebagian’). Sementara kelas yang sama tetapi diasuh oleh
dosen yanggaya mengajarnya ‘kering’, justru sering kosong
melompong.
Di Indonesia, pembukaan kelas paralel juga dilakukan, terutama untuk
kelas-kelas yang pesertanya besar. Pembagian mahasiswa ke dalam
kelas-kelas di Indonesia biasanya diatur oleh Fakultas atau Jurusan,
sehingga mahasiswa tidak diberi kebebasan dalam memilih kelas mana yang
disukainya. Jika saja mahasiswa dibebaskan memilih sebagaimana di luar
negeri, maka pasti mereka akan memilih kelas yang dosen pengajarnya
memiliki style mengajar yang disukainya. Jangan pernah apriori bahwa
mahasiswa tak pernah menilai dosen dan membanding-bandingkan style dosen
mengajar. Kalau tidak percaya, silahkan dengarkan celotehan mereka
ketika mahasiswa sedang berkumpul.
Sayangnya di kita, evaluasi oleh mahasiswa terhadap kinerja dosen
yang biasanya dilakukan di akhir perkuliahan, belum menjadi standar
penilaian kinerja dosen. Demikian juga pemilihan dosen favorit pilihan
mahasiswa belum merupakan kegiatan yang membudaya, bahkan pemilihan
dosen teladan saja masih dilakukan oleh tim penilai atasan dosen
(pimpinan dan dosen senior) dan belum melibatkan sivitas akademika
lainnya (termasuk mahasiswa).
Keenam
Prof. Leblanc menekankan bahwa prinsip keenam ini merupakan prinsip
yang sangat penting, yaitu bahwa mengajar yang baik harus mengandung
unsur humor (jenaka). Artinya, dalam mengajar, seorang dosen harus
menyisipkan humor-humor, yang akan sangat berguna untuk mencairkan
(ice-breaking) suasana kelas yang kaku. Harus disadari bahwa mahasiswa
adalah manusia yang datang ke kelas dengan kondisi yang berbeda-beda,
dengan permasalahannya masing-masing, baik yang muncul hari itu maupun
yang sudah dimilikinya berhari-hari atau berbulan-bulan yang lalu.
Kelas yang kaku dan terlalu serius akan sangat membosankan. Menurut
sumber lain, contohnya Barbara Gross Davies (Tools for Teaching,
Jossey-Bass Publishers, 1993), jika pun atmosfir kelas mendukung,
mahasiswa hanya penuh perhatian terhadap materi perkuliahan sampai
maksimal 20 menit pertama saja. Untuk itu, dosen harus berusaha
semaksimal mungkin untuk memasukkan teknik-teknik jenaka untuk menarik
kembali perhatian mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Ada banyak
teknik yang dapat dilakukan untuk hal tersebut, tetapi bukan untuk
dibahas disini.
Ketujuh
Mengajar yang baik adalah memberikan perhatian, membimbing, dan
mengembangkan daya pikir serta bakat para mahasiswa. Mengajar yang baik
berarti mengabdikan atau menyediakan waktu kita bagi setiap mahasiswa.
Juga berarti mengabdikan diri untuk menghabiskan waktu kita untuk
memeriksa hasil ujian, mendesain atau meredisain perkuliahan, menyiapkan
bahan-bahan ajar untuk lebih memperbaiki perkuliahan.
Bagi yang pernah mengikuti pelatihan Applied Approach dan Pekerti
(Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional) tentu dapat memahami
bahwa hanya untuk menyusun SAP dan GBPP saja, berapa besar energi dan
banyak waktu yang harus kita curahkan. Tapi itulah resiko sebuah
pekerjaan. Bukankah tak ada yang memaksa kita untuk menjadi dosen, jadi
ketika sekarang kita sudah menjadi dosen, mengapa tidak sekalian saja
kita bersikap profesional?
Kedelapan
Mengajar yang baik harus didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan
visioner serta oleh institusi yang juga mendukung, baik dalam
sumberdayanya, personalianya, maupun dananya. Mengajar yang baik harus
merupakan penggambaran dari pelaksanaan visi dan misi institusi yang
selalu harus diperbaiki dan diperbaharui, bukan hanya dalam perkataan
tetapi juga dalam perbuatan.
Khusus untuk Unpad, prinsip ke delapan ini belum dapat dilaksanakan
dengan baik. Kendala utamanya adalah masih terbatasnya dana, terutama
untuk kegiatan praktikum. Hal ini bukannya tidak menjadi perhatian
Pimpinan Unpad sekarang, tetapi prioritas program pemenuhannya masih
dikalahkan oleh pembangunan gedung perkuliahan dan praktikum. Kini,
setelah luasan gedung dianggap sudah memenuhi, maka pengadaan dan upaya
melengkapi peralatan laboratorium menjadi prioritas berikutnya. Satu
hal yang harus dipahami oleh kita semua adalah bahwa baik pembangunan
fasilitas gedung maupun program pemenuhan kebutuhan praktikum tersebut,
dananya bukan berasal dari Pemerintah, melainkan dari dana masyarakat
yang berhasil dihimpun Unpad. Hal ini perlu ditegaskan karena masih
banyak fihak, terutama dosen dan mahasiswa Unpad yang beranggapan bahwa
seolah-olah dana pembangunan dari Pemerintah tidak dialokasikan terhadap
pemenuhan kebutuhan praktikum.
Kesembilan
Mengajar yang
baik adalah tentang pembimbingan (mentoring) yang dilakukan oleh dosen
senior kepada dosen yunior, tentang kerjasama, dan kemudian kinerjanya
dapat dikenali dan dihargai oleh seorang penilai (penyelia). Jika
seorang dosen telah mengajar dengan baik, sudah sepatutnya ia mendapat
imbalan penghargaan, sementara mereka yang mengajarnya masih kurang
baik, sudah sepatutnya mereka mendapatkan berbagai progam pelatihan dan
pengembangan.
Di Unpad, untuk pelatihan dan pengembangan dosen memang sudah
difasilitasi dengan membentuk P3AI (Pusat Pelatihan dan Pengembangan
Aktivitas Instruksional). Namun sayangnya, kegiatannya baru terbatas
pada penyelenggaraan pelatihan AA dan Pekerti saja, seolah-olah dengan
telah mengikuti pelatihan AA atau Pekerti, seorang dosen sudah dianggap
mumpuni dalam mengajar. Padahal, seharusnya program garapannya jauh
lebih luas lagi, termasuk membuat berbagai materi training sebagaimana
tulisan ini. Sementara itu, proses pembimbingan (mentoring) oleh dosen
senior kepada dosen yunior (asisten), nampaknya masih merupakan ‘hiasan
bibir belaka’. Menurut pengamatan penulis, belum ada upaya serius dan
terprogram mengenai proses mentoring ini. Sering yang dikatakan
mentoring justru berupa penugasan pelaksanaan tugas (mengajar dan
memimpin praktikum) dari dosen senior ke asisten, tanpa pernah adanya
pembekalan oleh dosen senior ke dosenyunior tentang bagaimana caranya
mengajar dan memimpin praktikum, apalagi membekali dengan bahan-bahan
ajar atau materi praktikum yang baik dan mutakhir. Akibatnya, munculah
fomeo ‘pekerjaan untuk asisten, sementara honor untuk senior’.
Dalam proses mentoring yang baik, sebaiknya dimulai dari mewajibkan
asisten untuk duduk bersama mahasiswa di kelas, mendengarkan dan
memperhatikan bagaimana dosen senior mengajarkan materi perkuliahan.
Kegiatan ini kemudian harus diikuti oleh diskusi antara dosen senior dan
asistennya tentang materi yang tadi dibahas di kelas. Setelah dua atau
tiga semester untuk mata kuliah tersebut (bukan 2 atau 3 kali tatap
muka), barulah asisten diberi kesempatan untuk menggantikan beberapa
tatap muka atau keseluruhan dari tatap muka mata kuliah tersebut. Itu
pun, kuliah perdananya, seharusnya tetap diberikan oleh si dosen
senior. Sedangkan untuk kuliah selanjutnya, jika si senior tidak
berhalangan, maka senior dapat berganti tempat dengan asisten, kali ini
ia duduk di belakang bersama mahasiswa, memperhatikan bagaimana
asistennya mengajarkan mata kuliah tersebut. Demikianlah proses
mentoring yang seharusnya.
Kesepuluh
Akhirnya, mengajar yang baik adalah memiliki kesenangan, dan
kenikmatan batin, yaitu ketika mata kita menyaksikan bagaimana mahasiswa
kita menyerap ilmu yang kita berikan, bagaimana pemikiran mahasiswa
menjadi terbentuk, sehingga mahasiswa kemudian menjadi orang yang lebih
baik. Seorang pengajar yang baik akan melakukan tugasnya bukan semata
karena uang atau karena sudah merupakan kewajibannya, tetapi karena ia
menikmati pekerjaannya, dan karena ia menginginkan pekerjaannya itu.
Seorang pengajar yang baik tidak dapat membayangkan ia akan dapat
melakukan hal atau pekerjaan lain selain mengajar dan mengajar.
EmoticonEmoticon