Rabu, 08 Februari 2012

SEJARAH ILMU TAJWID

Tags

SEJARAH ILMU TAJWID


Oleh: soeranto
A.     Pendahuluan
         Al-Quran sebagai kitab suci rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam yang didalamnya mengandung berbagai macam ilmu, hukum, teologi, sosial, dan sebgainya. Untuk itu perlu mengetahui dan memahami perbedaan bacaan al-quran serta implikasinya terhadap makna dari lafal itu sendiri.
Al-Quran disamping dipelajari untuk memahami makna atau pesan dibalik teks. Maka untuk mendapatkan makna yang sesuai dengan Al-Quran perlu memahami qiraat dan cara membaca Al-Quran dengan benar, cara membaca Al-Quran dengan baik dan benar bisa dipelajari dengan ilmu tajwid.

B.     Pembahasan

1.      Sejarah ilmu tajwid
      Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Quran itu diturunkan kepada Rasulullah SAW . Ini kerana Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam ayat 4, surah al-Muzammil وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا     ……
 ".....Bacalah al-Quran itu dengan tartil(perlahan-lahan)." Kemudian baginda Saw mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil.
Sayyidina Ali r.a apabila ditanya tentang apakah maksud bacaan al-Quran secara tartil itu, maka beliau menjawab" adalah membaguskan sebutan atau pelafalan bacaan pada setiap huruf dan berhenti pada tempat yang betul”.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah Saw.


      Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, kerana rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah S.W.T dan begitulah juga generasi setelah mereka.

      Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah apabila bermulanya kesedaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya baris-baris bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, apabila pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mula melakukan-kesalaha dalam bacaan.

      Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf al-Quran dalam enam atau tujuh buah itu, beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya kerana memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah s.a.w sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Quran. Maka al-Quran Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi Karangan ilmu Qiraat yang paling awal sepakat apa yang diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qiraat" pada kurun ke-3 Hijrah. Tetapi ada yang mengatakan apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qiraat adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijrah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qiraat kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah kesemuanya pada masa itu karangan ilmu Tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk Qasidah (puisi) ilmu Tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijrah adalah yang terulung. Selepas itu lahirlah para ulama yang tampil memelihara kedua-dua ilmu ini dengan karangan-karangan mereka dari masa ke masa seperti Abu 'Amr Ad-Dani dengan kitabnya At-Taysir, Imam Asy-Syatibi Tahani dengan kitabnya "Hirzul Amani wa Wajhut Tahani" yang menjadi tonggak kepada karangan-karangan tokoh-tokoh lain yang sezaman dan yang setelah mereka. Tetapi yang jelas dari karangan-karangan mereka ialah ilmu Tajwid dan ilmu Qiraat senantiasa bergandengan, ditulis dalam satu kitab tanpa dipisahkan pembahasannya. Penulisan ini juga diajarkan kepada murid-murid mereka.

      Kemudian lahir pula seorang tokoh yang amat penting dalam ilmu Tajwid dan Qiraat yaitu Imam (ulama) yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jazari dengan karangan beliau yang masyhur yaitu "An-Nasyr", "Toyyibatun Nasyr" dan "Ad-Durratul Mudhiyyah" yang mengatakan ilmu Qiraat adalah sepuluh sebagai pelengkap bagi apa yang telah dinaytakan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya "Hirzul Amani" sebagai Qiraat tujuh. Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang berasingan bagi ilmu Tajwid dalam kitabnya "At-Tamhid" dan puisi beliau yang lebih terkenal dengan nama "Matan Al-Jazariah". Imam Al-Jazari telah mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya sekali yang kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu Tajwid dan Qiraat serta bacaan al-Quran hingga ke hari ini.[1]
2.      Pengertian tajwid
                  Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qiraat, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid
Pendapat sebagaian  ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda namun pada intinya sama. sebagaimana yang dikutip Hasanuddin. AF.
” Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.
Sebagian ulama yang lain medefinisikan tajwid sebagai berikut
“Tajwid ialah mengucapkan huruf(al-Quran) dengan tertib menurut yang semestinya, sesuai dengan makhraj  serta bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya sesempurna mungkin tanpa belebihan ataupun dibuat-buat”.[2]

3.      Pengertian qiraat
Sebagaimana yang telah kita pahami, mengenai pengertian qiraat bahwa qiraat adalah Ilmu yang mempelajari tentang cara atau metode membaca (pengucapan) lafal atau kalimat al-Quran beserta perbedaan-perbedaanya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya (imam), seperti yang menyangkut aspek kebahsaan; I’raab, hadzf, isbat, fashl, washl yang diperoleh dengan cara periwayatan.[3]

4.      Hubungan qiraat dengan tajwid
Dari pengertian tajwid dan qiraat diatas terdapat hubungan antara keduanya, bahwa tajwid dan qiraat adalah cara atau metode pengucapan lafal-lafal atau huruf di dalam al-Quran, tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan al-Quran, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Quran sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qiraat lebih substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Quran, kalimat ataupun dialek kebahasaan.


5.      Tingkatan Bacaan Al Quran
            Terdapat 4 tingkatan atau mertabat bacaan Al-Quran yaitu bacaan
            dari segi cepat atau perlahan.[4]

a.       At-Tartil : Bacaannya yang perlahan-perlahan, tenang dan melafadzkan setiap
huruf daripada makhrajnya yang tepat serta menurut hukum-hukum
bacaan tajwid dengan sempurna, merenungi maknanya, hukum dan pelajaran daripada ayat.
Tingkatan bacaan tartil ini biasanya bagi mereka yang sudah mengenal makhraj-makhraj huruf, sifat-sifat huruf dan hukum-hukum tajwid. Tingkatan bacaan ini adalah lebih baik dan lebih diutamakan
b.      tahqiq: Bacaannya seperti tartil cuma lebih lambat dan perlahan, seperti membetulkan bacaan huruf daripada  makhrajnya, menepatkan kadar bacaan mad dan dengung. Tingkatan bacaan tahqiq ini biasanya bagi mereka yang baru belajar membaca Al Quran supaya dapat melatih lidah menyebut huruf dan sifat huruf dengan tepat dan betul.
c.       Al-Hadar: Bacaan yang cepat serta memelihara hukum-hukum bacaan tajwid. Tingkatan bacaan hadar ini biasanya bagi mereka yang telah menghafal Al Quran, supaya mereka dapat mengulang bacaannya dalam waktu yang singkat.  
d.      At-Tadwir: Bacaan yang pertengahan antara tingkatan bacaan tartil dan Hadar, serta memelihara hukum-hukum tajwid.

C.     Kesimpulan
         Dari uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, tajwid telah dikenal pada masa Rasulullah Saw, karena pada saat itu masyarakat sudah tahu cara membaca al-Quran dengan benar. Adapun hubungan qiraat dengan tajwid ialah,
tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan al-Quran, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Quran sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qiraat lebih substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Quran, kalimat ataupun dialek kebahasaan.


[1]http://seindah-mawar-berduri57.blogspot.com, diakses 17 Desember 2009.
[2] Hasanuddin. AF.Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Quran , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995), hlm. 117-118.
[3] Abduh Zulfidar Akaha. Al-Qur’an Dan Qiroat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996), hlm.118
[4] http://belajartajwid3p.com, diakses pada 19 Desember 2009.