Senin, 26 Desember 2011

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan

Tags

Ada yang istimewa dalam Peringatan Hari Guru Nasional XI (Kamis, 2 Desember 2004), karena Presiden mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan itu diharapkan menjadi tonggak kebangkitan guru untuk senantiasa terus meningkakan profesionalismenya dan sebagai upaya agar profesi guru menjadi daya tarik bagi putra-putri terbaik negeri ini untuk menjadi guru.
Sejak itu, gairah untuk segera menetapkan undang-undang profesi guru dan dosen menjadi semakin kentara. Kini, setelah sejumlah perangkat perundang-undangan dan anggaran yang belakangan terasa agak berat sudah dipenuhi, wacana bergeser ke arah sertifikasi guru. Tak mengherankan bila kini para guru dan sejumlah orang yang punya perhatian kepada guru, memperbincangkan soal kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.
Sajian pendek ini, yang diharapkan akan diikuti dengan sajian-sajian lain yang bersifat lebih teknis dan substantif, dimaksudkan sebagai pengantar untuk menempatkan secara proporsional profesi guru dalam konteks profesionalisasi keguruan. Hajatnya sederhana, bila dikehendaki atau menghendaki guru diterima dan diakui sebagai profesi, maka para guru sendiri harus memahami apa sebenarnya makna dan bagaimana tanggungjawab profesional itu. Secara agak sengaja, kupasan tentang sejumlah keistimewaan, misalnya gaji dan penghargaan, tidak begitu ditonjolkan, karena menilik asal katanya dorongan sejati seorang profesional sebenarnya bukan penghasilan atau penghargaan, melainkan kecintaan (to profess). Akan halnya gaji dan penghargaan atas suatu layanan profesional, harus disikapi sebagai konsekuensi dari layanan profesional yang penuh pengabdian dan kecintaan.

Vokasi, Okupasi, dan Profesi

Masyarakat sekarang cenderung mengacaukan pengertian kata "profesi". Kekacauan pertama, kata "profesi" (profession) dianggap sama dengan pekerjaan (vocation) dan atau matapencaharian (occupation). Kekacauan kedua, profesi dipandang sebagai keseluruhan penge­tahuan dan keterampilan teknis yang harus dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan, tanpa ada tali-temali dengan persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu.
Kedua kekacauan itu bersumber kepada kesalahan pemahaman tentang makna kata "profesi". Menurut sebuah kamus, "profession" berarti suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut pendidikan tinggi khusus dan rangkaian latihan intensif dan berjangka panjang (an occupation requiring considerable training and specialized study). Kata ini berasal dari kata Latin professus, derivasi dari kata profiteor, yaitu menyatakan secara terbuka di hadapan umum.
Tidak berhenti di situ, kekacauan juga menyangkut hubungan antara pengertian "akademik" dengan pengertian "profesional." Pendidikan profesional adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memangku jabatan-jabatan yang bersifat tertutup (closed occupations) yang lazimnya dilindungi undang-undang. Sebagai contoh jabatan kedokteran, jabatan ke-insinyur-an, jabatan bidang hukum, dan sebagainya. Sebaliknya, pendidikan akademik adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan telaah-telaah keilmuan (academic inquiries). Pendidikan akademik menekankan penguasaan ilmu-ilmu dasar (basic sciences), seperti fisika, biologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu ekonomi. Program studi akuntansi, misalnya jelas merupakan pendidikan profesi, sedangkan program studi ekonomi pembangunan adalah pendidikan akademik.
Kerancuan antara konsep "profesi" dengan konsep "okupasi" terletak pada fungsi pekerjaan yang sama-sama untuk memperoleh nafkah, sehingga menganggap diri atau dianggap oleh masyarakat sebagai pemain profesional, sekalipun kemahiran atau ke­ahlian mereka tidak cukup tinggi menurut tuntutan profesionalisme. Tuntutan profesionalisme ini pun berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, bergantung pada perbedaan mutu pelatihan, tuntutan dan persaingan di kedua lingkungan tersebut. Karena itu, setiap usaha pendidikan profesional dan upaya profesionalisasi harus terlebih mengajukan pertanyaan: Apakah ukuran, kriteria, atau standar profesionalisme yang dipergunakan sebagai acuan dalam program pendidikan atau program pengembangan profesionalisme tersebut merupakan standar berkeabsahan? Bukan tidak mungkin, misalnya, pada bidang yang mempunyai standar internasional, ketidak-sesuaian standar akan membuat seseorang tidak mampu bersaing melawan tenaga-tenaga profesional dari negara lain.
Satu persoalan lagi harus dicatat, yaitu berkenaan dengan dinamika profesi. Ketika ilmu­-ilmu pengetahuan mengalami kemajuan begitu cepat, standar yang berlaku dalam suatu periode pasti mengalami perubahan. Standar profesionalisme, misalnya untuk bidang-bidang kedokteran, teknologi, hukum, manajemen, akuntansi, serta pendidikan telah mengalami perubahan cukup penting dibandingkan dengan standar yang berlaku sepuluh atau lima belas tahun lalu. Karena itu, pendidikan profesional dan program profesionalisasi ha­rus selalu mengikuti perkembangan dan memutakhirkan standar yang digunakan. Kegagalan dalam pemutakhiran akan menyebabkan khalayak sasaran program hanya menguasai kecakapan profesional kedaluwarsa (outdated professionalism), yang pada gilirannya akan merugikan masya­rakat.
Kekacauan kedua tentang profesionalisme berkenaan dengan pandangan bahwa profesionalisme merupakan suatu bidang keahlian dan kemahiran semata, tanpa bersangkut-paut dengan masalah moralitas atau etika. Ketika dihadapkan pada persoalan moral dan etika, banyak tenaga profesional akan menghindar dan berkata, "Saya seorang profesional. Urusan saya bersifat teknis, dan tidak berurusan dengan masalah mo­ral." Ini merupakan sikap dan perilaku yang keliru. Karena niscaya bersentuhan dengan kehidupan manusia, maka profesi pun memiliki dimensi moral dan etika. Kasus bendungan Kedung Ombo, misalnya, menyeruak karena ada sejumlah orang melihat rencana pembangunan bendungan ini dari segi kemanusiaan.
Setiap profesi menghadapi sejumlah masalah kemanusiaan, yang tentu saja harus ditangani dengan mengacu kepada nilai-nilai moral. Profesi kedokteran, hukum, jurnalistik, guru, insinyur, dan sete­rusnya, pada saat-saat tertentu harus berhadapan dengan masalah-masa­lah moralitas ini. Menjadi semakin jelas, pengertian yang benar terhadap istilah "profesionalisme" mempunyai cakup­an makna cukup luas, karena tidak hanya berkenaan dengan keahlian dan penghargaan, tetapi juga menyentuh dimensi moral. Karena itu, merupakan suatu kerharusan bagi setiap profesi untuk memiliki kode etik, yang disebut etika profesi (professional ethics). Kode etik ini yang berfungsi mengatur perilaku para anggota masyarakat profesi. Tentu saja, dalam setiap masyarakat profesi terdapat anggota-anggota yang mengindahkan norma-norma etika, tetapi ada juga anggota-anggota yang tidak mengindahkan sama sekali norma-norma etika.
Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[1] Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?
Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2] Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.
Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.[3]
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]
Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.
Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.
Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.
Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).
Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.
Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.
Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[5]
Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.
Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.
Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.
Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.


EmoticonEmoticon